Senin, 23 November 2015

Kota Kecilku Yang Penuh Pesona

Sejak kecil aku selalu bercita-cita untuk dapat bersekolah dan menuntut ilmu di tanah rantau. Masih jelas tergambar di pikiranku, saat "aku" kecil berusia 7 tahun (yang notabene saat itu sudah suka membaca koran) berteriak "nanti mau sekolah di Amsterdam saja ya!"
Memasuki bangku SMP lagi-lagi pikiranku yang masih bocah ini berubah dan aku pun memproklamirkan kepada keluargaku "kuliah kedokteran nya di Stanford aja!"
Saat ini di bangku SMA, aku sudah mulai realistis dan akhirnya ku ubah semua perkataanku dengan pernyataan "S1 kedokterannya di Jakarta aja deh, nanti gampang S2 nya di John Hopkins di US"
Aku terbiasa untuk bermimpi ingin jauh pergi dari kampung halamanku. Dengan prinsip "dimana aja yang penting jangan disini", aku mulai membiasakan keluargaku agar nantinya bisa melepas putri tunggalnya merantau jauh dari rumah untuk mencari ilmu.
Aku juga masih ingat, pernah suatu hari aku katakan pada ibuku "Bun nanti kalo udah kerja, kubawa ke Bandung ya, sama Ayah juga. ngapain tinggal disini lama-lama?"
Namun rasanya aneh, jika kota kecil tempatku tinggal sejak aku berusia kurang lebih 2 tahun ini tidak kusoroti sebagai kota yang paling berhasil membangun dan membuatku mengerti "siapa aku sebenarnya".
Banyak yang tidak mengenal kotaku. Jujur sejak dulu itulah alasan mengapa aku ingin merantau. "Orang di peta aja ga keliatan ini tempat" ujarku sinis, dulu.
Kota tempat tinggalku juga bukan kota yang menjadi dambaan atau incaran para pelancong saat musim liburan tiba. Bukan. Bukan seperti Bali atau Yogyakarta yang di setiap sudut jalannya bisa ditemukan "bule" bertanktop dan membawa carrier.
Tidak, kota ini tidak punya mall besar serba branded seperti Jakarta, atau pasar-pasar raksasa yang legendaris seperti Malioboro di Jogja atau Johar di Semarang.
Hal skala internasional yang pernah terjadi di kota ini hanyalah saat UNESCO mematenkan Batik sebagai kerajinan asli disini pada tanggal 2 Oktober beberapa tahun lalu dan saat kota ini dinobatkan menjadi Kota Kreatif (katanya) Dunia.
Tapi entah mengapa, seiring bertambahnya usiaku, semakin banyak hal-hal yang membuatku berkesan dengan kota kecil ini.
Lama-lama, yang bisa dengan cepat membalikkan suasana hatiku bukan lagi datang ke mal mal besar lalu berbelanja hingga waktu hampir tutup, melainkan dengan makan tengah malam di angkringan pinggir jalan Gadjah Mada sambil ngobrol dengan ibu-ibu penjualnya.
Mengobati demam tidak perlu lagi repot-repot ambil obat resep dokter dan jauh jauh ke apotek. Cukup menikmati hangatnya Tauto ditambah sambal 2 sendok di sebelah Pasar Senggol.
Berfoto di alam luas tidak lagi perlu membuang biaya dan waktu untuk naik pesawat ke Lombok atau Raja Ampat. Cukup naik motor ke Curug Bidadari, walau panas lelah pasti terbayar.
Berkumpul dengan teman-teman dekat tidak harus pergi ke tempat yang eksis untuk diposting di sosial media, cukup dengan makan nasi megono di Jalan Patiunus atau sekedar lari-lari kecil di Lapangan Mataram.
Tak usah munafik. Ingin mencari laki-laki untuk dijadikan pengunjung sementara di hati? Tenang. Jalan Kartini dan Progo punya semuanya. Dari yang sangar dan gagah seperti tentara sampai Gamers yang tukang bercanda, lengkap serba ada. Tapi hati-hati, semuanya suka mendua.
Jika semua itu telah dilakukan, dan ingin beristirahat dalam dekapan keluarga yang terkasih, bagiku, hanya Kergon yang tiada tandingannya.
Tinggal satu setengah tahun, setelah itu benar, aku harus merantau. saat aku kecil beranjak remaja, aku yakin setengah mati bahwa aku akan bahagia luar biasa di tanah perantauan sana. Namun semakin dekat waktu itu tiba, semakin aku menyadari bahwa hanya disinilah tempatku untuk "Pulang".

Kota Batik, Pekalongan, 23 November 2015.
Kota kecilku, yang akan selalu kurindukan.

Jumat, 31 Juli 2015

Mengagumimu Diam-diam

Lucu. Rasanya seperti bukan aku. Aku yang "ceplas ceplos" dan cenderung terang-terangan ini tentu amat sangat tidak pandai dalam urusan menutupi perasaan. Selalu kutunjukkan semua itu, selalu ku luapkan seluruh perasaanku dan pasti akan kukejar "dia". Namun tidak kali ini. Entah mengapa "kamu" membuatku untuk pertama kalinya belajar untuk menutupi perasaan yg kerap berkecamuk di dadaku setiap kamu tersenyum, setiap kamu tertawa, setiap kamu memperhatikan pelajaran, setiap kamu sedang berlari menggiring bola di lapangan, pada segala momen di setiap hariku yang melibatkanmu didalamnya.
Tidak pernah aku si keras kepala ini merasa begitu rapuh begitu pemalunya hingga setiap kamu tersenyum padaku aku tak tau harus apa. Rasanya hati ini penuh sesak akan pertanyaan tentang bagaimana bisa kamu membuatku seperti ini. Kamu juga dengan lancarnya membuatku terbakar saat melihat kamu dengan perempuan perempuan lain bercanda dan tertawa. Sial, tawamu itu seharusnya menjadi milikku dan bukan untuk konsumsi kaum hawa lain. Canda dan senyummu juga seharusnya menjadi sarapan ku setiap pagi bukan untuk diobral kepada perempuan lain.
Aku mungkin terkesan sangat egois dalam mencintaimu, haha maafkan aku. si pemula canggung nan ceroboh dalam urusan mencintai dalam diam. menyayangi dalam doa. mengagumi tanpa suara. Awal yang baik kah untuk semuanya?

Kamis, 23 Juli 2015

Senyum Itu

Seperti biasanya, lagi-lagi malam ini air mata harus membasahi kaca mataku. Hidungku yang berair membuatku kesulitan bernafas. Tetapi rupanya tidak. Bukan hidungku yang berair yang membuatku kesulitan bernafas namun betapa sesak penuh nya hati ku yang tak mampu lagi membendung semua nya. Mengapa semua ini terasa sulit sekali Ya Tuhan? Aku selalu berusaha untuk tetap tersenyum, mengangkat daguku, dan berkata "tenang saja, aku tidak apa-apa". Aku tau aku masih belum cukup berusaha untuk berkata "apa belum cukup pengorbananku?". Tetapi aku hanya ingin ia tau Ya Tuhan betapa sakitnya aku yang selalu mengorbankan segala hal bahkan hanya untuk bertemu dengannya. Mendengar suaranya, melihat senyumnya, menyaksikan ia tertawa sampai matanya terlihat sipit sekali seperti biasa. Tidak perlu karenaku Ya Tuhan, aku hanya ingin bertemu dengannya lagi dan menyaksikannya bahagia.
Tentu saja aku rindu, aku rindu dengan percakapan tengah malam kita. Aku rindu kamu mendiskusikan segala hal denganku, aku rindu kamu yang sering tertidur di pundakku, aku rindu merawatmu saat kau sakit, aku rindu bagaimana kita biasa tertawa hingga sesak nafas hanya karena hal hal sepele.
Tetapi tidak, aku tidak akan berusaha untuk menunjukkan perasaan campur adukku ini. Mungkin aku hanya perlu diam. Aku hanya perlu untuk sekali lagi memendam semuanya sendirian. Tak peduli payah, tak peduli lelah.
Satu pintaku, Ya Tuhan. Aku hanya ingin melihat senyum itu lagi.

Rabu, 15 Juli 2015

Lelah

Hai. Sepertinya ini kali pertama aku menulis di sini setelah hampir sekian lama. Tugas-tugas di sekolah mulai memeras pikiran dan tenagaku, lalu entah mengapa aku merasa seperti  orang asing di semua tempat, dan untuk semua orang, ditambah lagi, haha. sepertinya ini sudah kisah klasik yang memang selalu kualami; lagi-lagi aku harus memaksa hati untuk pergi dari zona nyamannya.
Aku memang tidak sendiri. Aku cukup menyadari itu. Aku masih percaya bahwa Sang Maha Cinta masih setia menemaniku dan menuntunku; setelah semua yang ku alami dan ku lalui. Di samping itu memang banyak orang yang selalu berkata "sabar" atau "aku tau kamu kuat" "sekar kok cengeng". Tapi entah mengapa aku tetap merasa aku sendirian.
Haha. Sakit rasanya. selalu mengerahkan usaha terbaik dalam SEGALA hal, untuk SEMUA orang, namun sejatinya kamu tidak akan pernah menjadi "cukup" baik untuk semua orang. Tidak akan pernah ada yang tau bagaimana rasanya menjadi aku. Bagaimana payah nya aku yang selalu berusaha untuk semua orang. 
Ibu pernah menasihatiku "Jika dunia dan seisinya selalu salah dan tidak sesuai dengan keinginanmu, mungkin ini waktunya kamu yang menyesuaikan diri dengan dunia dan seisinya.". Apa mungkin? Apa aku yang selalu salah? Apa semua ini terjadi karena kecerobohan dan ketidaksempurnaanku sebagai anak, sebagai teman, sebagai kekasih; sebagai seorang yang hidup di dunia ini?
Mungkin benar, ini semua salahku. Aku tidak pernah menjadi cukup baik, mungkin aku tidak sesempurna apa yang orang-orang harapkan, mungkin aku masih terlalu lemah untuk memuaskan keinginan orang-orang. 
Tetapi jujur. Aku lelah. Aku ingin selalu kuat tetapi aku tidak munafik, aku tidak naif. Mustahil.
Ya Tuhan aku lelah, aku lelah menjaga perasaan semua orang yang bahkan tak pernah menyempatkan diri untuk menjaga perasaanku. Ya Tuhan aku lelah, aku lelah selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk orang-orang padahal tidak ada yang bahkan mencoba untuk melakukan hal yang "baik" kepadaku. Ya Tuhan aku lelah, aku lelah memendam semua perasaan ini sendiri. Aku rindu Engkau, Ya Tuhan. Aku sudah terlalu lelah untuk bersembunyi, aku sudah terlalu bosan menyimpan semua tangis dan raungan ini. Sudah berlarut-larut Ya Tuhan. Aku lelah, benar-benar lelah...